Jika di sejumlah negara Barat yang maju perekonomiannya pakar-pakar ekonomi sudah lama mempertanyakan realisme dan relevansi ilmu ekonomi bagi pembangunan suatu masyarakat/ bangsa, di Indonesia yang baru memiliki Doktor Ekonomi pertama tahun 1943, masalah ini sangat sedikit dipersoalkan. Dosen-dosen/pengajar ilmu ekonomi di perguruan-perguruan tinggi tak banyak yang membaca buku-buku yang bersifat kritis tentang ini. Terakhir, kiranya tidak banyak ekonom arus utama yang berminat membaca buku Matinya Ilmu Ekonomi (The Death of Economics) tulisan Paul Ormerod tahun 1994, padahal penulisnya pernah datang ke Jakarta (15 Januari 1998), dan berdiskusi dengan para ekonom senior kita.
Namun jika Paul Samuelson sendiri sebagai salah seorang ”Nabi” ilmu ekonomi Neoklasik menyatakan bahwa ilmu ekonomi akan lebih besar kamungkinan diubah oleh teman-temannya daripada para pengkritiknya, kiranya pakar-pakar ekonomi Indonesia harus tidak mudah berpuas diri dengan ilmu yang digelutinya. Terutama para dosen perguruan tinggi ada baiknya menanyakan pada sarjana-sarjana lulusannya, sejauh mana ilmu ekonomi yang dipelajari di perguruan tinggi benar-benar ”memberi bekal” memadai untuk ”bekerja” atau membuat analisis-analisis permasalahan ekonomi Indonesia. Pada tahun 1976 telah terbit buku Economics in The Future yang sangat tidak puas dengan ekonomika Neoklasik. Jan Tinberger dan Gunnar Myrdal mengusulkan ilmu ekonomi yang tidak (induktif) empirik dan kelembagaan
+ komentar + 3 komentar
ya
baik
baik
Posting Komentar
Pembaca dapat mengirimkan komentar terkait artikel yang ditayangkan. Isi komentar bukan merupakan pandangan, pendapat ataupun kebijakan kami dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.
Pembaca dapat melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Kami akan menimbang setiap laporan yang masuk dan dapat memutuskan untuk tetap menayangkan atau menghapus komentar tersebut.